Bab 9
Swasembada Pangan
I. PENDAHULUAN
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan dengan bermacam-macam kegiatan yang dapat menghasilkan kebutuhan yang sesuai diperlukan masyarakat Indonesia dengan kemampuan yang dimilki dan pengetauhan lebih yang dapat menjalankan kegiatan ekonomi tersebut terutama di bidang kebutuhan pangan.
Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif. Jadi diversifikasi adalah bagian dair program swasembada pangan yang memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non padi/nasi.
Secara sederhana swasembada beras dapat didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan beras dalam negeri. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami swasembada pada tahun 1984 di era Orde Baru. Sebagai perbandingan, jika tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton kebutuhan sekitar 160 juta penduduk (saat itu) dan bahkan secara gotong royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan. Bisakah kita mengulang masa-masa era keemasan melimpahnya produksi beras ?
Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sekarang jauh dari nostalgia swasembada beras. Impor beras dari Vietnam beberapa tahun belakangan menggambarkan carut marutnya kondisi perberasan kita.Walaupun Menteri Petanian,Anton Apriantono mengklaim Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras sejak tahun 2004, kita masih merasakan munculnya kerentanan-kerentanan jika produksi gagal panen ataupun ancaman dari perubahan-perubahan ekonomi dan alam. Artinya, kondisi ketahanan produksi beras kita, masih jauh dari aman.
II. PEMBAHASAN
Swasembada pangan berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:
1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya: 1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras. Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar yaitu:
1) Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
2) Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
3) Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras.
Stok beras di pasaran dibuat langkah baru kemudian harga naik, akhirnya masyarakat dipaksa memahami impor beras yang akan dilakukan oleh pemerintah. Impor beras yang dilakukan oleh pemerintah berdampak dua hal yakni:
- Pertama, menurunkan motivasi kerja para petani karena hasil kerja kerasnya akan kalah berkompetisi dengan beras impor di pasaran.
- Kedua, menterpurukkan tingkat pendapatan petani domestik yang rendah menjadi sangat rendah.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Selain itu, ada motivasi ekonomi-politik yang sebenarnya disembunyikan di balik logika bisnis impor beras. Impor beras merupakan bentuk kebijakan ekonomi-politik pertanian yang mengacu kepada kepentingan pasar bebas atau mazhab neo-liberalisme.
Kebijakan pemerintahan SBY saat ini tidak mendukung berkembangnya sektor pertanian dalam negeri. Antara lain,
Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuanya masih di bidang agraris. Misalnya, kedudukan Pulau Jawa sebagai sentra penghasil padi semakin kehilangan potensi karena industrialisasi dan pembangunan perumahan.
Konversi tata guna lahan ini merupakan salah satu pemicu merosotnya pertanian Indonesia yang menjadi sumber penghidupan 49 persen warga negara.
Ada sejumlah faktor yang selama ini menjadi pemicu utama terpuruknya sektor pertanian, di antaranya :
Dari segi sarana dan prasarana, dana pemeliharaan infrastruktur pertanian, tidak ada pembangunan irigasi baru, dan pencetakan lahan baru tidak berlanjut.
Dalam hal bebasnya konversi lahan pertanian, pihak pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak disiplin menjalankan pemerintahan dengan mengizinkan pengubahan fungsi pertanian yang strategis bagi ketahanan negara.
Dari sisi kebijakan dan politik, penerapan otonomi daerah membuat sektor tanaman pangan terabaikan. Para elite politik membuat kebijakan demi partai, bukan untuk kebijakan pangan rakyat. Keadaan semakin buruk dengan tidak adanya keamanan dan stabilitas yang seharusnya dijalankan aparat penegak hukum.
Penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional.
Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan, secara garis besar ditujukan untuk:
• meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional
• menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka
• meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.
• meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional
• menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka
• meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.
Laju pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras. Sementara, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa resiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini telah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi resiko produksi semakin buruk.Sehingga, ke depan sangatlah mungkin terjadi pada suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada beras. Artinya, pada saat itu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Bagi Indonesia, jelas kiranya bahwa jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras, tetapi swasembada pangan. Artinya, suka tidak suka, senang tidak senang penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan apabila tidak mau berhadapan dengan ‘kiamat' pangan di masa depan.
Sesungguhnya, pemerintah sudah lama menyadari pentingnya diversifikasi pangan, bahkan telah mempunyai berbagai program untuk mempromosikannya. Namun, suatu hal penting yang telah lama diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa program swasembada beras tidak ‘compatible' dengan program diversifikasi pangan. Selama beras tersedia di mana saja, kapan saja dengan harga yang relatif murah seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tidak akan tertarik mengurangi konsumsi beras dan mengkompensasinya dengan penambahan konsumsi pangan lainnya, seperti jagung dan sagu.Hal inilah sesungguhnya yang membuat penduduk negeri ini doyan beras, bukanlah karena seleranya kaku. Sebab, faktanya, setiap harinya masyarakat Indonesia mengkonsumsi paket pangan yang merupakan campuran dari nasi dan bukan nasi. Artinya, ada ruangan untuk terjadinya substitusi beras dengan non-beras dalam paket konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Namun, ruangan subsitusi ini telah menjadi sangat sempit saat ini. Sebagai akibatnya, nasi (beras) telah menjadi sangat dominan dalam paket konsumsi harian penduduk negeri ini. Hal ini terjadi karena pemerintah telah sejak lama mengimplementasikan kebijakan pangan yang keliru.
Hambatan dalan program swasembada pangan yaitu, program swasembada pangan masih bergantung pada luas lahan yang tersedia. Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan.
Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memeuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program swasembada pangan.Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk Indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas lahan.Solusinya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan disitu.Jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi.Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen,mol,hotel serta apartement. Menjadi salah satu hambatan dan Indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan mengimpor dari Negara lain.
III. KESIMPULAN
Hidup sederhana mencakup sejumlah praktek sukarela yang berbeda untuk menyederhanakan gaya hidup seseorang. Ini mungkin termasuk mengurangi harta seseorang atau meningkatkan swasembada, misalnya. Hidup sederhana dapat dicirikan oleh individu yang puas dengan apa yang mereka butuhkan bukan ingin. Meskipun asketisme umumnya mempromosikan hidup sederhana dan menahan diri dari kemewahan dan kepuasan., tidak semua pendukung hidup sederhana pertapa. Hidup yang sederhana adalah berbeda dari mereka yang hidup dalam kemiskinan paksa, karena ini adalah pilihan gaya hidup sukarela.
Penganut dapat memilih hidup sederhana karena berbagai alasan pribadi, seperti spiritualitas, kesehatan, meningkatkan 'waktu yang berkualitas' di untuk keluarga dan teman-teman, mengurangi jejak pribadi ekologi mereka, pengurangan stres, selera pribadi atau berhemat. Lain menyebutkan tujuan-tujuan sosial-politik yang selaras dengan gerakan anti-konsumeris, termasuk konservasi, degrowth, keadilan sosial, keragaman etnis dan pembangunan berkelanjutan.
Penganut dapat memilih hidup sederhana karena berbagai alasan pribadi, seperti spiritualitas, kesehatan, meningkatkan 'waktu yang berkualitas' di untuk keluarga dan teman-teman, mengurangi jejak pribadi ekologi mereka, pengurangan stres, selera pribadi atau berhemat. Lain menyebutkan tujuan-tujuan sosial-politik yang selaras dengan gerakan anti-konsumeris, termasuk konservasi, degrowth, keadilan sosial, keragaman etnis dan pembangunan berkelanjutan.
Ada beberapa persoalan yang masih membelit kemandirian perberasan kita. Saat ini terjadi peralihan lahan pertanian menjadi pusat aktivitas ekonomi,pemukiman dan pembangunan fisik. Ditambah lagi dengan kegagalan panen,wabah hama,, minimnya infrasturuktur dan kondisi alam yang fluktuatif membuat kita rawan mengalami krisis beras.Liberalisasi pangan yang sekarang mulai berefek pada jatuhnya harga gabah petani menambah buram potret politik perberasan. Belum lagi aksi penyeludupan beras ke luar negeri karena harga di luar lebih menjanjikan dibanding harga dalam negeri.
Untuk keluar dari benang kusut permasalahan perberasan, kita perlu langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang. Pertama,menerapkan politik beras untuk menjaga stabilitas makroekonomi.Caranya dengan mengendalikan harga lewat penyeimbangan pasokan dan permintaan. Kedua, pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti pengadaan daerah dan jaringan irigasi,pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai serta akses jalan ekonomi.Ketiga, membendung laju konversi lahan dan peningkatan produktivitas melalui penelitian dan pengembangan varieas unggul. Keempat, membuat kebijakan-kebijakan yang pro petani, seperti mengalokasikan anggaran buat sektor pangan ataupun subsidi pupuk yang cukup bagi petani. Diharapkan Indonesia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan “perut sendiri” tetapi sudah mampu berkontribusi buat “perut negara lain”.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Tambunan, Tulus TH, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
http://www.facebook.com/note.php?note_id=199620883868/ http://nuryana26.wordpress.com/2011/04/09/swasembada-pangan/